Sejarah Hukum Laut Internasional
Sejarah
hukum laut internasional perlu diawali dengan pembahasan mengenai
berbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam sejarah, laut terbukti
telah mempunyai berbagai fungsi, antara lain sebagai:
- Sumber makanan bagi umat manusia;
- jalan raya perdagangan;
- sarana untuk penaklukan;
- tempat pertempuran-pertempuran;
- tempat bersenang-senang; dan
- alat pemisah atau pemersatu bangsa.

Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka fungsi laut telah
bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang
berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber daya alam.13
Fungsi-fungsi laut yang disebutkan telah dirasakan oleh umat manusia,
dan telah memberikan dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan laut
oleh masing-masing negara atau kerajaan yang didasarkan atas suatu
konsepsi hukum.
Lahirnya
konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari
sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan
antara dua konsepsi, yaitu :
- Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;
- Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Pertumbuhan
dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang
mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium
Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan
Tengah secara mutlak. Dengan demikian menimbulkan suatu keadaan dimana
Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut,
sehingga semua orang dapat mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan
sejahtera. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas
doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia), yang
memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res
communis omnium disamping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar
pula untuk kebebasan menangkap ikan.
Di
sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat
dimiliki, di mana dalam jaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap
ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.16 Pemikiran suatu
kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya
didasarkan atas konsepsi res nulius.
Berdasarkan
uraian di atas, jelas kiranya bahwa bagi siapapun yang mengikuti
perkembangan teori hukum internasional, asas-asas hukum Romawi yang disebutkan
di atas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional
yang berkembang di kemudian hari. Dapat dikatakan bahwa kedua konsepsi
hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional
yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, laut teritorial
dan laut lepas.
Memasuki
abad pertengahan, munculah klaim- klaim yang dilakukan oleh negara-
negara yang sebelumnya merupakan bagian dari kekuasaan Romawi. Negara-
negara tersebut menuntut penguasaan atas laut yang berbatasan dengan
pantainya. Diawali oleh Venetia yang menuntut sebagian besar Laut
Adriatik untuk dijadikan daerah kekuasaannya. Tuntutan dari Venetia ini
diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Setelah tuntutannya
terpenuhi, Venetia memberlakukan pungutan bea terhadap setiap kapal yang
berlayar disana. Selanjutnya Genoa melakukan klaim atas kekuasaan Laut
Ligunia dan Negara Pisa yang mengklaim dan memberlakukan aturan hukumnya
di Laut Thyrrenia. Setelah tuntutan dari ketiga negara tersebut
terpenuhi, selanjutnya masing- masing negara tersebut membuat aturan
pemungutan bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana. Tiga negara
diatas hanya sebagai contoh kecil negara-negara di tepian laut setelah
runtuhnya Imperium Romawi.
Banyaknya
klaim atas kekuasaan laut pada saat itu menimbulkan banyak pertentangan
bahkan peperangan yang menyebabkan wilayah laut yang sebelumnya utuh
dibawah kekuasaan Romawi terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki
oleh negara- negara tertentu. Fenomena ini menyebabkan laut tidak lagi
merupakan res communis omnium namun telah terjadi laut tertutup yang
dikuasai oleh suatu negara. Tindakan sepihak dari negara- negara pantai
di Laut Tengah untuk menguasai laut ini menimbulkan kebutuhan untuk
mencari kejelasan dan kepastian hukum.
Pada
perkembangan selanjutnya munculah teori pembagian wilayah laut yang
dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus. Pada masa pembentukan hukum laut
internasional ini terjadi perjuangan untuk menguasai lautan berdasarkan
berbagai alasan dan kepentingan seperti karantina ( perlindungan
kesehatan terutama terhadap penyakit pes), bea cukai dan pertahanan.
Pada waktu yang bersamaan terjadi adu argumentasi diantara para penulis
atau ahli hukum yang masing- masing mempertahankan dan membenarkan
tindakan- tindakan yamg dilakukan oleh negara atau pemerintahnya masing-
masing. Salah satu perbedaan pendapat yang paling terkenal adalah yang
terjadi antara penganut doktrin bebas (Mare Liberium) yang dikemukakan
oleh seorang ahli hukum Belanda yaitu Hugo De Groot alias Grotius dan
penganut dokrtin laut tertutup (Mare Clausum) yang dikemukakan oleh John
Shelden.
Grotius
dalam bukunya yang berjudul Mare Liberum menyatakan bahwa laut tidak
dapat dimiliki oleh siapa pun dan karena itu harus terbuka bagi semua
bangsa. Adapun alasannya mengapa dia berpendapat demikian, karena laut
itu demikian luasnya dan tidak ada seorang pun yang dapat hidup di laut
secara permanen dalam jangka waktu lama. Sedangkan John Shelden
berpendapat bahwa laut dapat dimiliki. John Shelden menunjuk pada
tindakan negara- negara yang
menerapkan kedaulatan perairan mereka seperti Swedia, Rusia, Jerman,
Genoa dan Venetina. Periode ini dalam sejarah hukum laut dikenal dengan
perang buku. Hal ini disebabkan para pemikir dan ahli hukum saling
berlomba untuk mempublikasikan pendapatnya dengan menulis buku.
Sifat
laut yang cair, menurut Shelden tidaklah menyebabkannya tidak dapat
dimiliki, karena sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair dapat
diakui dan dapat dimiliki. Sejarah kemudian membuktikan bahwa baik mare
clausum maupun mare liberium tidak dapat mempertahankan ajaran
masing-masing dengan kaku dan konsekuen. Akhirnya tercapai kompromi
dimana Grotius sendiri mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara
dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari darat. Benih-benih
kompromi tersebut juga ada pada ajaran Shelden yang mengakui hak negara
lain untuk memiliki lautan masing-masing, dan mengakui adanya hak lintas
damai di laut-laut yang dituntut. Kebebasan laut juga diterima oleh
Inggris, karena armada laut Inggris sudah mulai tumbuh dan mengarungi
seluruh samudera di dunia.
Seorang
ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Cornelis Von Bynkershoek pada
tahun 1789 dalam bukunya De Dominio Maris Dissertatio mengemukakan
pendapatnya, ia menyatakan bahwa lebar laut teritorial itu di ukur dari
garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan
mengikuti arah atau lekukan pantai tersebut. Garis inilah yang disebut
garis pangkal normal (normal base line). Sedangkan lebar laut teritorial
diukur dari garis pangkal normal dengan cara menembakkan meriam yang
dimiliki oleh negara itu ke arah laut. Gagasan
terkenal Bynkershoek menyatakan bahwa kedaulatan negara berakhir sampai
sejauh tembakan meriam yang ketika itu bisa mencapai jarak 3 mil laut.
Memasuki
awal abad ke-20, negara-negara pantai mulai meninggalkan lebar laut
teritorial 3 mil laut dan mengklaim lebar laut teritorial yang melebihi
dari 3 mil laut. Sebagai akibatnya terjadilah ketidakpastian mengenai
lebar laut teritorial negara-negara pantai dan tentu juga ketidakpastian
mengenai luasnya laut lepas. Pada tahun 1919 didirikan sebuah
organisasi internasional dalam ruang lingkup global, yakni Liga
Bangsa-Bangsa (LBB). LBB memprakarsai penyelenggaraan Konferensi
Internasional di Den Haag pada tanggal 13 Maret-12 April tahun 1930
untuk mengkodifikasikan hukum internasional. Akan tetapi, Konferensi Den
Haag 1930 ini gagal mencapai kesepakatan mengenai lebar laut teritorial
yang seragam.
Kegagalan
Konferensi Den Haag 1930 mengakibatkan masih tetap berlangsungnya lebar
laut teritorial yang tidak seragam, bahkan ditambah lagi dengan
klaim-klaim sepihak dari negara-negara mengenai pelebaran laut
teritorial yang masih terus berlangsung.22 Dengan terbentuknya Liga
Bangsa-Bangsa setelah perang dunia I dan dalam tahun- tahun permulaan
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa terjadi perkembangan hukum yang
merupakan gabungan antara gagasan klasik dari Hukum Perikanan dan
kebutuhan Hukum Internasional. Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 (UNCLOS I) adalah produk perkembangan Hukum Internasional Neo-Klasik.
Pada
tahun 1960 diselenggarakan konferensi Hukum Laut PBB II (UNCLOS II).
Setelah selesainya Konferensi Hukum Laut PP II, masalah lautan terus
berkembang kearah yang tidak terkendali sehingga menimbulkan
ketidakpastian, seperti masih tetap berlangsungnya klaim-klaim sepihak
atas laut yang berupa tindakan pelebaran laut teritorial. Negara-negara
dunia saat itu, secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama mulai
memperkenalkan pranata hukum laut yang baru, seperti zona eksklusif,
zona ekonomi, zona perikanan, dan berbagai klaim yang lainnya.
Terjadilah perlombaan yang tidak terkendali antara negara-negara
tersebut dalam menguasai lautan dan mengeksplorasi lautan serta
mengeksploitasi sumber daya alamnya.
Dalam
UNCLOS I dan II belum ada kesepakatan penting tentang lebar laut
teritorial maupun zona perikanan. Ketidakpastian tentang legalitas hukum
laut di tahun 1960 dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada waktu
itu yang mengakibatkan beberapa Konferensi Jenewa yang mengatur laut
tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan. Pada tahun 1973
dimulailah Konferensi Hukum Laut III dan ditutup pada 10 Desember 1982
dan menghasilkan beberapa aturan yang sangat substansial dalam bidang
Hukum Internasional terutama Hukum Laut diantaranya adalah tentang lebar
maksimum laut teritorial sejauh 12 mil laut dan konsep Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE).
Sumber: http://www.suduthukum.com/2017/07/sejarah-hukum-laut-internasional.html
Post a Comment for "Sejarah Hukum Laut Internasional"