Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Materi Kuliah: Hukum Orang dan Keluarga

Manusia Sebagai Subjek Hukum

Pertemuan keempat, merupakan perkuliahan awal yang telah memasuki pembahasan bab 2 yang di bahas adalah hukum tentang orang, namun dalam pembahasannya dikaitkan juga dengan pembahasan hukum perkawinan, hal ini disebabkan bahwa masalah perkawinan dalam sistematika BW/KUHPerdata dimasukan kedalam pembahasan hukum orang, namun pada pertemuan keempat ini pembahasan lebih difokuskan  tentang manusia sebagai subjek hukum yang terdapat beberapa aspek yang perlu dibahas di dalamnya, antara alain :

a). Manusia
            Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya.  Sedangkan orang adalah pengertian juridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat.  Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person.      Menurut hukum modern, seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi.  Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, warganegara ataupun orang asing.  Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
            Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dimaksudkan, dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia.  Pengecualiannya sebagai mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata ditergaskan pada pasal 2 yang  menentukan sebagai berikut :
(1)    Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya;
(2)    Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada".

            Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW di atas ini sering disebut "rechtsfictie".  Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya. Demikian juga dalam pasal 236 KUHPerdata ditentukan; "bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat pewaris meninggal dunia".  Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia.  Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada.  Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandunganpun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak. Pentingnya pasal 2 BW terlihat pada contoh kasus sebagai berikut.  Seorang ayah pada tanggal 1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia mempunyai dua orang anak, sedangkan istrinya dalam keadaan hamil (mengandung).
            Seandainya pasal 2 BW tidak ada, maka yang menjadi ahli waris kalau ayah yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan wasiat hanyalah dua orang anaknya dan jandanya (istrinya). Pada tanggal 1 September 1984 dalam kandungan istri itu lahir hidup dan segar bugar. Kalu pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan yang ditinggalkan ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya, yang masing-masing mendapat sepertiga, sedangka ia yang masih dalam kandungan ketika ayahnya meninggal dunia tidak mendapat apa-apa.  Keadaan ini dirasakan tidak adil,

namun keberadaan Pasal 2 BW tersebut dimaksudkan untuk meniadakan ketidakadilan itu, sehingga anak yang ada dalam kandunganpun merupakan ahli waris.  Karena itu bagian dari masing-masing ahli waris pada contoh kasus di atas ini adalah seperempat (tiga anak dan seorang istri/janda).  Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik.  Adapun bagiannya mendaji warisan.  Jadi anak yang hidup sedetik dan kemudian meninggal itu menjadi pewaris.  Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah saudara-saudaranya dan ibunya.

            Sebagaimana telah dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia.  Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak.  Pasal 3 BW menyatakan :"Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata". Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain adalah :

1.      Kewarga-negaraan; misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik;

2.      Tempat tinggal; misalnya dalam psal 3 Peraturan  Pemerintah  No. 24 tahun 1960 dan pasal I Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya;

3.      Kedudukan atau Jabatan; misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara.

4.      Tingkah laku atau Perbuatan; misalnya dalam pasal 49 dan 53 Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan, bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua /wali atau berkelakuan buruk sekali.


b). Ketidak Cakapan

            Selanjutnya meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subjek hukum (rechtspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid).  Orang-orang yang menurut undang-udang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
 1.      Orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (pasal 1330 BW jo pasal 47 UU no. 1 tahun 1974);
 2.      Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW);
 3.      Orang-orang yang dilarang undang-undang melakukan perbuatan-perbuatan  hukum  tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).

           Jadi orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa  dan sehat akal fikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator).  Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan           (weeskamer).

            Uraian di atas dapat dikatakan; bahwa setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semua orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum.  Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan   hukum (rechtsbevoegheid). Dengan demikian rechtbekwaamheidadalah syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat khusus untuk  melakukan perbuatan hukum.


c). Pendewasaan

            Dalam sistim hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan (handlichting), - yang diatur pada pasal-pasal 419 s/d 432.  Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun.
Jadi maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa.  Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapi umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri. Akan tetapi lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang sudah tidak relevan lagi dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 (pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) yang menentukan bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa.  Ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76  dalam perkara perdata antara Masrul Susanto alias Tan Kim Tjiang vs Ny. Tjiang Kim Ho.
            Dalam pergaulan hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang sedemikian banyaknya, maka sudah tentu diperlukan adanya tanda untuk membedakan orang yang satu dengan orang yang lain, selanjutnya untuk mengetahui apa yang merupakan hak-haknya dan apa pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya tandan yang  diperlukan ialah nama.


d). Nama

            Bagi golongan eropa dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (pasal 5 a s/d 12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan.  Akan tetapi dengan adanya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, maka pasal-pasal BW  tentang nama yang telah diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi. Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena nama itu merupakan indentifikasi seseorang sebagai subjek hukum.  Bahwa dari nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan.  Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. Nama seorang golongan Eropah pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu "nama kecil" (misalnya Karel, Jan Rebert, dan sebagainya) yang biasa diberikan sendiri oleh orang tuannya dan "nama keluarga" seperti (Bakker, Koch, Tounssen dan sebagainya) yang dipakai oleh bapak dan ibunya.


e). Tempat Tinggal

            Selain dari pada nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai suatu hak/atau kewajiban serta dengan siap seorang mengadakan hubungan hukum, maka dalam hukum perdata ditentukan pula tentang tempat tinggal (domisili). Kepentingan adanya ketentuan tentang tempat tinggal (domisili) dimana ia berkediaman pokok.  Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada. Tempat tingggal dibedakan atas 2 macam :

  1.  Tempat tinggal yang sesungguhnya. Di tempat tinggal sesungguhnya inilah biasanya seseorang melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajiban-kewajiban perdata pada umumnya.  Tempat tinggal yang sesungghnya  dapat dibedakan pula atas 2 macam, yakni :
Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak terikat/tergantung pada  hubungannya dengan pihak lain.
Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat / tergantung pada hubungannya dengan pihak lain.   Misalnya : tempat tinggal anak yang belum dewasa dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada dibawah pengampuan dirumah pengampunya. Buruh mempunyai tempat tinggal dirumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.

 2.    Tempat tinggal yang dipilih.  Dalam suatu sengketa dimuka pengadilan, kedua belah pihak yang berpekara atau salah satu dari mereka dapat memilih tempat tinggal lain dari pada tempat tinggal mereka yang sebenarnya.  Pemilihan tempat tinggal ini dilakukan dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih itu dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk kepentingan pihak yang memilih tempat tinggal tersebut.
Kemudian rumha kematian yang sering terpakai dalam Undang-Undang tidak lain seperti domisili pengahabisan dari orang yang meninggal pengertian ini adalah penting untuk menentukan beberapa hal seperti : pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tentang warisan yang dipersengketakan ; pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tuntutan siberpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya tidak dikatakan dengan istilah "tempat tinggal / kematian" melainkan "tempat kedudukan".  Secara yuridis tempat kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana pengurusnya menetap. Menurut beberapa arrest dari Hoog Raad.  Ketentuan-ketentuan mengenai tempat tinggal yang memuat dalam BW Buku I pasal 17 s/d 25, juga berlaku dalam memperlakukan Undang-Undang Tata Usaha maupun Undang-Undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak menentukan lain.


f). Keadaan Tidak Hadir

            Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak ditempat orang itu tidak menimbulkan persoalan.
Akan tetapi bilamana orang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak memeberikan kuasa apapun kepada orang lain untuk mewakili dirinya maupun untuk mengurus harta kekayaannya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak ditempatnya orang itu menimbulkan persoalan, siapa yang mewakili dirinya dan bagaimana mengurus harta kekayaannya. Meskipun orang yang meninggalkan tempat tinggal itu tidak kehilangan statusnya sebagai persoon atau sebagai subjek hukum, namun keadaan tidak ditempat (keadaan tidak hadir - afwezigheid) orang tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu pembentuk undang-undang perlu mengaturnya.

            Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tak hadir (afwezigheid) termuat dalam BW Buku I pasal 463 s/d 495 dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo Bilblad V dan Stb. 1949 No. 451. Undang-Undang mengatur keadaan tidak ditempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (pasal 463 s/d 466), masa yang berhubungan dengan penyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (pasal 467 s/d 483) dan masa pewarisan secara difinitif (pasal 484).

Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan apakah orang yang meninggalkan tempat tingal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia ; akan tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil baginya.  Pada masa ini Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang keadaan tak hadir itu menunjuk Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan segal urusan orang tersebut.  Sekiranya harta kekayaan dan  kepentingan orang yang tidak ditempat tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda atau kepada istri atau suaminya.

            Masa yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu itu ia masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak 3 kali.  Hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang yang tidak ditempat beralih kepada ahli warisnya, tetapi ini hanya bersifat  sementara dan dengan pembatasan-pembatasan.

            Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak ditempat itu. Meskipun demikian dalam setiap masa itu orang yang tidak ditempat tersebut tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu (pasal 486 dan pasal 487). Kemudian dalam pasal 489 s/d 492 diatur tentang akibat-akibat keadaan ditempat yang berhubungan dengan perkawinan. Tapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal-pasal BW mengenai afwezigheid yang behubungan dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi.

            Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tak hadir terutama adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih sukar.  Berbeda dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah atau antar negara sudah lancar. Untuk masa sekrang pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat tetap ada gunanya, satu dan hal-hal bila terjadi perang atau terjadi kekacauan-kekacauan dimana orang banyak yang hilang dan perhubungan dengan beberapa daerah atau negara terputus.


Hukum Orang dan Keluarga
Penulis: TITO ANGGA PRANATA
NIM 080710101123
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER